PUNCAK perjalanan dzikir adalah ma’rifatullah. Yakni, tersingkapnya tabir batin atau hijab jiwa yang menutupi hati kita dari ‘Sumber Segala Ilmu Pengetahuan’. Istilah ma’rifat bermakna ‘pengetahuan’, berasal dari kata arafa yang bermakna ‘mengetahui. Di level ini seorang ahli dzikir telah mencapai suatu kondisi terbukanya mata batin, sebagaimana dialami oleh para wali, nabi dan rasul.
Para wali, nabi dan rasul itu awalnya pun adalah orang-orang yang berusaha ‘mencari’ Tuhan, Sang Sumber Pengetahuan yang bersifat abadi, yang menggenggam segala rahasia kehidupan. Dalam segala levelnya, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim sang peletak dasar tauhid, Nabi Musa sang kalimullah, dan Nabi Muhammad sang penyempurna risalah.
Setiap manusia membawa fitrah keilahian, dimana ia merindukan keabadian, yang hanya dimiliki oleh Sang Khaliq. Karena itu, setiap kita, ingin berinteraksi dengan Asal Usul eksistensi kita itu. Yaitu, Sang Maha Eksistensi yang menjadi sumber segala keberadaan. Orang jawa menyebutnya sebagai ilmu ‘Sangkan Paraning Dumadi’ alias ‘asal-usul segala eksistensi’.
Dzikir adalah skill praktis yang akan membawa seseorang mencapai tingkat ma’rifatullah, yang tidak bisa dicapai secara teoritis belaka. Harus dipraktekkan, sampai merasakan dan mengalami sendiri berinteraksi dengan Sang Maha Nyata. Yang saking nyatanya, sampai-sampai tidak terlihat oleh mata dan panca indera lainnya.
Ibarat ‘sang waktu’ yang sedemikian nyata membelenggu realitas, sampai-sampai kita tidak bisa mengamati wujudnya. Dan hanya bisa merasakan keberadaannya. Sebab, yang kita amati pada jam dinding itu bukanlah sang waktu, melainkan sekedar pergerakan jarum yang kita buat sendiri untuk dijadikan ‘penanda’ dinamika waktu. ‘Sang Waktu’sendiri tak pernah menampakkan diri. Toh, kita percaya akan adanya.
Demikianlah Sang Maha Nyata. Dia jelas-jelas ada dan bisa kita rasakan keberadaan-Nya. Tetapi, tak pernah menampakkan Diri-Nya, kecuali hanya dalam bentuk tanda-tanda pada segenap ciptaan-Nya, yang bisa kita pikirkan secara ilmiah. Dan kemudian kita rasakan kehadiran-Nya dengan sepenuh jiwa. Hanya orang-orang yang jiwanya bersih, serta ingin bertemu dengan-Nya sajalah yang bakal ditemui-Nya. Tidak dalam wilayah yang fisikal, melainkan dalam wilayah yang spiritual. Tidak dalam tataran yang obyektif, melainkan dalam tataran yang subyektif.
Kenapa demikian? Ya, karena Sang Maha Perkasa itu bukanlah ‘obyek’, melainkan ‘Subyek’, Yang Maha Bekehendak untuk melakukan apa pun, tanpa harus mengikuti kehendak siapa pun. Sehingga, adalah wajar jika Dia tidak akan menemui orang-orang yang tinggi hati, yang sejak awal sudah tidak menganggap eksistensi-Nya ada. Untuk apa menemui orang-orang yang memang tidak ingin bertemu dengan-Nya? Dia hanya akan menemui orang-orang yang memang merindukan-Nya.
Tanda-tanda keberadaan-Nya sudah dihamparkan di seluruh penjuru alam semesta. Juga di segenap peristiwa yang dilaluinya. Tetapi hati yang tertutup, tetap saja akan tertutup, dan tidak bisa merasakan keberadaan-Nya. Karena, dia memang tidak mempedulikan-Nya.
QS. Yusuf (12): 105, ‘’Dan (sebenarnya) banyak sekali tanda-tanda (eksistensi Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka berpaling darinya.’’
Sementara bagi orang-orang yang merindukan-Nya, realitas yang sama bisa bermakna berbeda. Kemana pun mereka menghadapkan wajah, mereka selalu bertemu dengan Tuhannya dalam segenap realitas di segala peristiwa. QS. Al Baqarah (2): 115, ‘’Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’
Itulah para ahli dzikir, yang setiap saat jiwanya terisi oleh keberadaan Tuhannya. Sejak terbangun dari tidurnya, menjalankan aktivitas keseharian, sampai kembali beristirahat di malam harinya. Nama dan sifat-sifat Allah selalu bergema di seluruh pendengaran dan horison penglihatannya. Menggetar-getarkan jiwanya. Setiap gerak-geriknya tak pernah terlepas dari Allah, Sang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana. Karena, dia sudah membuktikan dan merasakan sendiri bahwa Allah memang telah meliputi hamba-hamba-Nya, beserta segala ciptaan-Nya.
Allah sudah meliputi segala yang dipikirkannya, semua yang dirasakannya, seluruh ucapan-ucapanya, tingkah lakunya, bahkan hembusan nafas dan denyut jantungnya, aliran darah dan desir kelenjar-kelenjar tubuhnya, serta bertriliun-triliun sel yang menjadi penyusun badannya. Allah telah meliputi seluruh eksistensinya, kesadarannya. Maka, apa pun yang dia lihat dan dia dengar telah menjadi bukti keberadaan Allah, Sang Penguasa jagat semesta.
Itulah sebabnya, bagi seorang ahli dzikir, seluruh alam semesta ini sedang bertasbih bersamanya, persis seperti yang dikemukakan Allah di dalam firman-firman-Nya. QS. Al Israa’(17): 44. ‘’Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi (kebanyakan) kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.’’
Orang yang sudah mencapai tingkatan ahli dzikir, tidak hanya melakukan dzikir bil lisan (hanya dengan ucapan) atau dzikir bil ‘ilmi (sekedar dengan kepahaman), melainkan sudah dzikir bil fi’li (dengan perbuatan). Dia telah menceburi sifat-sifat Allah dalam perbuatan nyata. Ucapan, kepahaman dan perbuatannya sudah menyatu dengan realitas alam semesta yang semuanya memang sedang ber-dzikir bil fi’li kepada Ilahi Rabbi. Mulai dari benda-benda langit yang maharaksasa di makrokosmos, sampai partikel-partikel kuantum yang sedemikian halus di mikrokosmos, dengan segala peristiwa yang menyertainya.
Dalam kondisi seperti itu, seorang hamba disebut telah sedemikian dekatnya dengan Allah yang memang meliputi segalanya. Jiwanya telah melebur ke dalam sifat-sifat Allah. Sehingga, apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang menggambarkan sifat Allah itu sendiri. Dia telah melihat dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, berucap dengan ucapan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah. Begitulah sebuah hadits Qudsy menggambarkan. Atau, dalam konteks peperangan yang diceritakan Al Qur’an berikut, Allah berfirman :
QS. Al Anfaal (8): 17. ‘’Maka bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang membunuhnya. Dan bukan kalian yang melempar ketika kalian melontarkan (senjata), melainkan Allah-lah yang melontarkannya. (Yang demikian itu) untuk memberi kemenangan kepada orang-orang beriman (atas orang-orang yang ingkar) dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’
Akhirnya, di penghujung Ramadan yang penuh hikmah ini kita semua dengan penuh harap kepada Allah, semoga Dia berkenan membimbing kita di jalan yang diridhai-Nya. Yaitu, jalannya para ahli dzikir, yang mengantarkan kita untuk bertemu dengan-Nya dalam segala aktivitas yang kita jalani. Selamat menyongsong datangnya hari yang fitri di esok hari. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna waminkum, taqabbal yaa kariim.
Wallahu a’lam bissawab