1). Hidup adalah untuk beribadah dan ibadah itu meliputi semua aspek dalam kehidupan sehari-hari asalkan melakukannya benar-benar dengan niat hanya krn اَللّهُ semata.
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
(Q.S Adz-Dzaariyaat 51 : 56)
Ibadah bukan hanya ritual saja, tetapi juga apa yang mendasari. Bukan hanya soal tindakan, tetapi juga soal motivasi.
Ilustrasi : ada seorang pejabat mengunjungi tempat di mana sebuah gedung sedang dibangun. Ia melihat tiga orang tukang bangunan tengah bekerja ; meletakkan batu satu demi satu dan menyemennya. “Sedang apa kalian?” tanya sang pejabat kepada ketiganya.
Ketiga tukang bangunan itu memberi jawaban berbeda. Tukang bangunan pertama menjawab, “Saya sedang meletakkan batu ini.” Tukang bangunan kedua, “Saya sedang mendirikan tembok.” Tukang bangunan ketiga, “Saya sedang membangun gedung.”
Seumpama apa yang dikerjakan oleh ketiga tukang itu adalah ibadah. Tukang bangunan pertama menganggap pekerjaannya sebagai rutinitas saja. Ia tidak tahu untuk apa melakukannya. Pokoknya itu adalah pekerjaannya, maka ia lakukan. Titik. Sama dengan kita pergi ke mesjid untuk sholat. Mengapa? karena kita orang Islam. Sebagai orang Islam sudah seharusnya kita sholat ke masjid. Selesai.
Tukang bangunan kedua punya tujuan dengan pekerjaannya. Tetapi sayangnya, ia hanya melihat pada pekerjaannya sendiri, yaitu mendirikan tembok. Hanya parsial. Ia tidak melihat bahwa mendirikan tembok hanya salah satu bagian pekerjaan dari keseluruhan pekerjaan membangun gedung. Akibat yang bisa terjadi, ia sangat baik dalam mengerjakan tugasnya mendirikan tembok, tetapi ia bisa tidak mau peduli dengan pekerjaan lain. Padahal semua pekerjaan mendirikan gedung saling terkait, tidak bisa yang satu diperhatikan dan yang lain diabaikan.
Kita pergi ke masjid untuk sholat bukan hanya karena kebiasaan sebagai orang Islam, tetapi untuk beribadah kepada Allah. Sayangnya kita melupakan, bahwa ibadah menyangkut keseluruhan hidup kita. Pergi ke masjid hanyalah salah satu bagian dari ibadah. Akibatnya, di masjid kita menjadi orang yang sangat baik, tetapi di luar masjid kelakuan kita sangat bertentangan.
Tukang bangunan ketiga memberi jawaban paling baik. Dia mempunyai visi yang utuh, yaitu membangun gedung. Maka disamping pekerjaannya sendiri, dia juga tentunya akan memperhatikan pekerjaan lainnya.
Hidup yang beribadah kepada Allah juga seperti itu tidak terpilah-pilah atau terpisah-pisah. Bahwa kita bekerja, bukan sekadar tuntutan kebutuhan. Kita mendidik dan membesarkan anak, bukan sekadar memenuhi kewajiban sebagai orang tua. Kita melakukan ini dan itu, bukan sekadar karena tanggung jawab. Semua itu kita lakukan pula dalam rangka beribadah kepada Allah.
2). Dalam hal melakukan segala sesuatu itu harus dengan upaya yg semaksimal mungkin semampu kita tanpa berfikir hasil akhir karena hasil akhir itu hanya اَللّهُ yang berhak menentukan.
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًۭا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S At-Taghaabun 64 : 16)
Kadangkala kita lebih menekankan hasil daripada prosesnya. Akibatnya, sikap untung-untungan dan bukan sikap perencanaan yang ditekankan. Para remaja antre audisi menjadi bintang sinetron karena menjadi bintang itu akan “kaya dan terkenal”. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk ikut pemilihan caleg karena duduk di legislatif itu gajinya gede dan ditakuti orang.
Peduli pada hasil daripada proses membentuk mental konsumtif. Kita menjadi pemalas karena tidak pernah berproses, cuma tahu hasilnya belaka. Gajimu berapa sekarang? Kamu dibayar berapa di sana? Itulah pertanyaan kita. Pertanyaannya bukan, kamu kerja pada siapa dan bagaimana kerja di sana? Hasil, upah, gaji, jumlah, itulah yang penting. Bukan bagaimana kerjanya.
Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat Baduy Dalam. Di sana orang tahunya kerja keras setiap hari, entah berhasil atau tidak berhasil. Mereka “bertapa” di dunia ini, yakni bertapa kerja. Kerja itu ibadah. Hasilnya terserah pada yang memberi. Orang Baduy bekerja sekadar tidak lapar. Kelebihan hasil kerjanya diberikan pada orang lain yang membutuhkannya. Mereka pantang meminta pada orang lain. Kalau diberi pun juga mengukur dirinya, apakah pemberian itu memang berguna buat dirinya.
Proses lebih penting daripada hasil juga ditunjukkan dalam membuat barang-barang. Sebuah barang dibikin dengan proses yang sudah ditetapkan oleh adat bersama. Meskipun hasilnya bagus, kalau tidak melalui proses yang semestinya, hasil kerja itu tetap tidak bermanfaat. Proses atau laku itu jauh lebih penting daripada hasil produknya.
Ujian naik kelas itu juga berproses. Orang harus belajar keras. Meskipun telah belajar keras tetapi tidak lulus juga, dia tahu bahwa dirinya belum cukup keras berproses. Membikin tesis dan disertasi juga berproses. Bukan asal lulus dan tak mau berproses lagi. Lebih baik berproses terus, meneliti terus, meskipun tak pernah diuji dan tak pernah dihargai. Proses itu harus autentik, jujur, tanpa pamrih. Itulah laku ibadah. Beretika.
Dalam kategori Erch Fromm, proses dan hasil ini dirumuskan sebagai sikap “menjadi” (menghargai proses, laku) dan sikap “memiliki” (orientasi hasil). Nyatanya membuat peradaban modern lebih cenderung bersikap memiliki daripada “menjadi”. Tujuan hidup modern adalah akumulasi kepemilikan. Kalau perlu, semua gelar kehormatan diperlihatkan. Kalau perlu semua kekayaan dipamerkan. Kalau perlu kekuasaan ditunjuk-tunjukkan. Bahkan kecantikan dan ketampanan dijual buat memiliki sebanyak-banyaknya uang. Aji mumpung berkembang dalam sikap “hasil”.
Orientasi “hasil” ini, kepemilikan ini, akan membuat orang bersikap konsumtif bukan produktif. Kerja selingan mungkin hasil sebanyak mungkin. Kalau perlu tanpa kerja apa pun hasil terus mengalir. Jabatan lantas dilihat berapa besar dapat memperoleh benda konsumsi, bukan betapa berat tugas yang harus saya pertanggungjawabkan. Yang penting menjadi direktur, entah bagaimana kerjanya karena jabatan direktur merupakan akumulasi kepemilikan kekuasaan, kekayaan, dan kesohoran.
Menyontek itu bukan dosa intelektual, yang penting lulus atau tersohor. Otak ini dipenuhi akumulasi konsumsi pengetahuan dan bukan hasil proses kerja sendiri. Yang dinamakan orang pandai di Indonesia itu kalau berhasil menjadikan otaknya sebagai terminal pikiran-pikiran produk orang lain. Produk pemikiran sendiri itu nilainya rendah karena melalui proses laku sendiri.
Bagaimana bangsa ini akan menjadi bangsa besar kalau penghargaan terhadap proses diabaikan? Kita bisa belajar dari Cina, yang dari dulu ngotot percaya diri pada kekuatannya sendiri dan cara berpikirnya sendiri. Memang melalui proses panjang untuk membuktikan bahwa mereka akhirnya berhasil mencapai dirinya. Harus sabar tetapi terus tekun berproses. Ada perencanaan, bukan untung-untungan. Dolar boleh jatuh, tetapi rupiah tetap stabil. Itu semua akibat hasil proses.
Proses, kerja, laku, lampah, itulah hidup ini. Pantang meminta, tetapi mampu memberi. Jangan hanya belajar, tetapi juga akan dipelajari. Semua produk itu ada prosesnya. Apa bangganya mengonsumsi produk dari proses orang lain? Puaslah dengan produk sendiri yang melalui proses autentik diri sendiri. Kita bukan bangsa peminta, tetapi bangsa pemberi. Mulailah menghargai proses.
3). Hanya اَللّهُ lah yg mengetahui apa yang terbaik buat diri kita, kita tdk pernah mengetahui apa yang terbaik buat diri kita sendiri apalagi untuk org lain, namun kita sering menjadi sombong dengan merasa tahu sehingga seringkali kita jadi memaksakan keinginan kita kepada اَللّهُ
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ ٱللَّهَ بِدِينِكُمْ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?" (Q.S Al-Hujuraat 49 : 16)
Dalam sebuah atsar diriwayatkan oleh Wahb bin Munabbih disebutkan bahwa Allah berfirman: “Hamba-Ku! Taati sajalah apa yang sudah Aku perintahkan kepadamu, dan jangan (sekali-kali) mengajari-Ku terhadap apa saja yang baik untukmu.”
Bagi seorang mukmin sejati yang memiliki ketajaman nurani, tentulah terhindar dari sikap “lancang” dengan mengajari Allah terhadap segala hal yang baik untuknya. Karena memang manusia manapun di dunia ini tidak akan pernah tahu rencana dan skenario Allah ketika Dia menimpakan segala musibah dan masalah kepada hamba-Nya.
Rasanya sudah terlalu sering kita mengajari Allah bahkan terkadang harus menyalahkan-Nya saat harapan-harapan dan cita-cita kita yang kita nantikan dan tunggu tidak kunjung datang atau malah hanya kegagalan yang kita raih. Prasangka-prasangka buruk terhadap Allah melintas di fikiran kita tanpa bisa kita cegah, karena kebodohan dan kelemahan kita dalam memahami hakikat keberadaan kita di dunia ini.
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 216: “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”
Banyak hal di dunia ini yang berada diluar kekuasaan kita, dan kita tidak pernah mampu menghindar dan menolaknya. Hal yang demikian karena memang kita diciptakan hanya untuk tunduk dan patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Saat manusia menderita dengan rezeki yang serba kekurangan (menurutnya) seharusnya bersyukur karena Allah sedang membimbingnya agar selalu menggantungkan harapan dan memohon kepada-Nya. Saat seseorang nestapa karena kehilangan apa saja yang dicintainya selayaknya berbahagia karena pada saat yang sama Allah sedang menuntunnya agar tidak mencintai apapun melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selama paru-paru ini masih bernafas, jantung ini masih berdetak, darah ini masih mengalir, manusia tidak akan pernah terlepas dari deraan cobaan dan ujian. Karena memang dunia diciptakan sebagai tempat ujian dan akhirat sebagai tempat balasan. Kesenangan sejati hanya akan diraih jika kita sudah menginjakkan kaki di surga. Jika memang dunia ini diciptakan untuk tempat bersenang-senang, maka para nabi seharusnya yang paling berhak mendapatkannya. Lantas, kenapa malah merekalah yang paling banyak dan sering mendapatkan rentetan cobaan dan cabaran.
Semoga sebuah hadits ini akan membuat kita sadar, bersimpuh dan tertunduk malu dihadapan-Nya dan berhenti mengajari-Nya atau menyalahkan ketentuan-Nya saat doa-doa belum terpenuhi dan harapan-harapan yang gagal diraih. Karena memang tidak ada kebetulan dalam kehidupan ini.
Sebuah hadits yang riwayatkan oleh imam al-Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Malaikat Jibril AS berkata: Wahai Allah, hamba-Mu si fulan penuhilah segala keperluan (yang diminta)nya. Allah pun menjawab: (sudah) biarkan saja hamba-Ku (itu), Sungguh Aku senang mendengar suaranya (saat bermunajat kepada-Ku).
4.) Allah SWT itu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Q.S Al-Baqarah 2 : 216)
Setiap kita tentu menyukai keindahan. Karena itulah fitrah yang Allah SWT berikan kepada kita sebagai hambaNya. Menyukai dan menyenangi keindahan. Sebagaimana kita merasa senang melihat keindahan kupu-kupu yang terbang di antara bunga yang berwarna warni. Keindahan itu memberikan kesejukan bagi siapapun yang memandang.
Tetapi terkadang kita lupa bahwa keindahan itu diperoleh dari sebuah proses yang melelahkan. Proses yang boleh jadi menyakitkan. Tapi itulah sunnatullah. Sebagaimana kupu-kupu yang kita lihat demikian mempesona, lahir dari sebuah proses yang sangat melelahkan. Dan sesungguhnya ia lahir dari bentuk yang, menurut sebagian besar dari kita, menjijikkan dan menakutkan. Seekor ulat. Berhari-hari sang calon kupu-kupu tersebut berpuasa. Tidak makan dan tidak minum. Ketika pun saatnya ia akan lahir, sang calon kupu-kupu itupun harus melalui perjuangan yang melelahkan dan juga menyakitkan. Ia harus melewati sebuah lubang yang sangat kecil bahkan menjepit tubuhnya yang masih lemah. Tetapi ia terus berjuang dan berjuang. Karena ia yakin Allah SWT memberikan hikmah dibalik kesulitan yang ia alami. Setelah melewati proses yang panjang tersebut akhirnya ia lahir sebagai kupu-kupu yang indah dengan sayap mempesona.
Kesulitan, kelelahan dan kesakitan yang dialami sesungguhnya bagian dari tarbiyah dari Allah SWT untuk memberikan kekuatan kepada sang calon kupu-kupu.
Tersebutlah dalam sebuah cerita seorang yang sangat baik hati melihat sang calon kupu-kupu terjepit dalam kepompong yang mulai terbuka. Orang baik ini merasa iba dengan sang calon kupu-kupu. Ia tidak tega melihat penderitaan sang calon kupu-kupu ini untuk keluar dari lubang kepompong yang kecil bahkan teramat kecil untuk ukuran tubuhnya. Akhirnya ia pun berbaik hati membantu membukakan kepompong tersebut agar lubangnya lebih besar dan agar penderitaan sang calon kupu-kupu ini segera berakhir. Usahanya tidak sia-sia. Sang kupu-kupu keluar dengan mudah. Sangat mudah. Orang baik ini tersenyum. Lega. Karena telah membantu menghilangkan kesulitan sang kupu-kupu.
Dipandanginya kupu-kupu kecil tersebut. “Terbanglah sayang. Nikmatilah luasnya angkasa ciptaan Allah.” Bisik orang baik ini memberi semangat. Tunggu tinggal tunggu. Tetapi sang kupu-kupu ini tak kunjung bergerak untuk terbang. Beberapa kali ia mencoba mengangkat sayapnya tetapi berkali itu pula ia gagal. Sayapnya terlalu kecil mengangkat beban tubuhnya yang lebih besar. Sang kupu-kupu ini menggelepar dan akhirnya mati tanpa pernah bisa terbang sebagaimana kupu-kupu yang lain.
Orang baik ini tercenung. Mengapa gerangan ia tidak bisa terbang? Orang baik ini merasa sedih. Ternyata kesulitan sang calon kupu-kupu untuk keluar dari kepompong, satu hal yang harus ia lewati. Karena di sinilah Allah SWT menempa kekuatan sang calon kupu-kupu tersebut. Ketika tubuhnya terjepit lubang kepompong, Allah SWT mengalirkan cairan yang ada dalam tubuh sang kupu-kupu ini ke bagian sayap. Sehingga ketika berhasil keluar dari kepompong tubuhnya lebih kecil dari sayapnya dan sayap ini pun lebih besar dan lebih kuat sehingga mampu mengangkat tubuh sang kupu-kupu ini terbang bebas di angkasa. Subhanallah.
Inilah hikmah di balik setiap kesulitan. Proses yang sulit, melelahkan dan terkadang menyakitkan adalah tarbiyah dari Allah SWT agar kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Pribadi yang lebih baik. Pribadi yang mampu memberikan kesejukan bagi siapapun yang memandang.
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Ternyata Allah SWT memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.
5). Segala sesuatu yang kita miliki adalah milik اَللّهُ semata termasuk ILMU, sehingga kita tidak berhak untuk menguasainya sendirian melainkan harus diamalkan dengan pertanggungjawabannya nanti kelak di hadapan اَللّهُ ... Demikian pula halnya dengan harta sehingga kita harus siap setiap saat bila semua itu nanti diambil kembali oleh اَللّهُ .
وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍۢ مُّحِيطًۭا
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu." (Q.S An-Nisaa`4 :126 )
Allah adalah Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu yang lain), sedangkan manusia adalah miskin (selalu membutuhkan sesuatu yang lain). Saat manusia lahir sebagai bayi, dia dalam keadaan telanjang bulat, tidak membawa apa-apa, dan belum tahu apa-apa. Saat manusia mati sebagai mayat, dia dalam keadaan kaku, tidak membawa apa-apa (kecuali amal dan kain putih), dan sudah tidak tahu apa-apa.
Semuanya adalah milik Allah. Manusia hanya sekedar “dipinjami” atau “dititipi” oleh Allah. Apa saja yang diperoleh, dirasakan dan dipakai oleh manusia hanya sekedar “barang pinjaman” atau “barang titipan” milik Allah. Suatu saat barang itu akan diminta oleh yang pemiliknya.
Harta melimpah yang kita nikmati selama ini hanyalah “barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah. Allah hanya sekedar meminjami sebagian kecil kekayaan-Nya kepada kita. Kekuasaan dan jabatan yang kita genggam hanyalah sekedar “barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah yang Maha Kuasa (al-Malik). Amanah dari Allah tersebut digunakan untuk mengatur, melindungi, dan mensejahterakan rakyat atau bawahan, bukan untuk memperkaya diri dan keluarga.
Ilmu yang selama ini kita dalami, dan kita menfaatkan hanyalah sekedar “barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah yang Maha ber-Ilmu (al-‘Alim). Kewajiban kita adalah mengamalkan ilmu untuk kesejahteraan ummat manusia (rahmatan lil’aalamiin), bukan untuk menghancurkannya.
Nyawa kita, anggota tubuh kita, dan semua kemampuan kita hanyalah sekedar “barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah SWT, yang semuanya pasti akan dikembalikan kepada-Nya. Kewajiban kita adalah mengabdikan diri (beribadah) kepada Allah semata (sebagai ‘abdullah) dan mengelola kehidupan dunia menurut petunjuk-Nya (sebagai khalifah), bukan untuk hidup menurut nafsu kita.
Kesabaran dan usaha yang keras menjadi kunci untuk mengatasi krisis yang masih melanda dunia. Kesadaran yang mendalam bahwa “semua milik Allah dan semua akan kembali kepada Allah” akan membawa pada kehidupan yang tenang, damai, dan optimis. Kesadaran ini juga harus diikuti dengan usaha sungguh-sungguh untuk mengatasi problem yang dihadapi. Allah bersama orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah 2:153).
6). Segala sesuatu datang dari اَللّهُ dan akan kembali ke اَللّهُ jua sehingga kita tidak perlu merasa stress dalam menghadapi permasalahan. Masalah itu datang dari اَللّهُ maka solusinya pun hanya kepada اَللّهُ jua lah tempat kita bertanya dan memohon petunjuk.
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (Q.S Al-Baqarah 2 :156)
Semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Kalimat tersebut barangkali sudah tidak asing di telinga kita, terlebih ketika seorang manusia ditimpa musibah atau meninggal dunia. Namun sungguh sangat disayangkan kebanyakan manusia tidak memahami secara mendalam makna spiritual yang terkandung dalam kalimat tersebut.
Jika kita pahami dan resapi makna tersebut, maka akan timbul pemahaman bahwa segala sesuatu yang ada di jagat raya ini milik Allah dari yang terbesar maupun yang terkecil, termasuk diri kita sendiri. Jika semuanya adalah milik Allah maka kita hanya sebatas diberikan amanah dan diuji, yang nantinya akan diambil kembali sang pemilik.
Diibaratkan ketika kita diberi pinjam sebuah motor untuk jangka waktu tertentu. Kita sadar bahwa motor tersebut bukanlah milik kita dan kita juga sadar bahwa nanti pada waktunya motor tersebut akan dimintai kembali oleh pemiliknya tanpa ada rasa sedih atau menyesal ketika kita mengembalikannya. Nah, kesadaran spiritual seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap diri kita yang harus teraplikasi secara utuh dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika kita ditimpa musibah kematian maka kita harus paham dan sadar bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang harus diterima sebagai proses “diambilnya” seseorang kepada pemiliknya, sehingga tidak ada bagi kita kesedihan dan kekhawatiran bagi yang ditinggalkan.
7). Dalam melakukan ibadah itu harus lah dilakukan dgn niat krn اَللّهُ semata bukan mengharapkan surga atau pun pahala krn surga atau pahala itu hanyalah bonus. Jadi lakukan dgn niat Lillaahi Ta'alla bukan Lilbonus atau Lil-lil lainnya.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Katakanlah : "sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (Q.S Al-An`aam 6 : 162)
Siapapun yang beribadah kepada Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan sesuatu dari-Nya, atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya ibadah orang tersebut (meskipun tidak salah) tapi belumlah berpijak dengan tepat sesuai dari sifat Allah itu sendiri.
Kenapa demikian?
Betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan mutlak (Lillaahi Ta’ala), tetapi masih demi yang lain, demi kepentingan duniawi, naiknya jabatan, sukses kariernya, mendapatkan jodoh, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta’ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi larangan-Nya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu seperti itu?
Bukankah kita beribadah karena kita memang harus melakukan ibadah dan menyambut dengan ikhlas (tanpa keinginan yang lain) sifat Rububiyah-Nya (sifat ke-Tuhan-an) melalui sifat Ubudiyah (sifat ke-Hamba-an) kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dari-Nya, bersama-Nya serta menuju kepada-Nya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah serta larangan-Nya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah SAW, mengkhabarkan :
“Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja”
Dalam kitab Zabur Allah berfirman :
“Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembah-Ku karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, Aku tidak pantas untuk ditaati ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar