Ciri dari seorang muslim adalah ia telah berikrar kepada dirinya sendiri bahwa tiada Ilah (Tuhan) selain Allah, dan bersaksi Muhammad sebagai utusan Allah. untuk kalimat yang kedua rasanya bisa kita pahami dengan cara yang tidak begitu sulit, karena Muhammad tercatat dalam sejarah pernah menginjakkan kaki di dunia ini, dan sejarah pula yang mencatat bahwa ajarannya tersebar ke seluruh penjuru dunia. Apa yang diajarkannya adalah kalimat yang pertama, yaitu tiada Tuhan selain Allah. tetapi ternyata kalimat ini tidak sesimpel kelihatannya, kita seringkali melihat Tuhan mengalami krisis identitas di mata kita, karena kita sendiri sering keliru mengidentifikasi Tuhan itu .
Bila kita coba perhatikan, lafadz Allah (الله) merupakan bentuk makrifat (ditambahi alif lam) dari kata ilāhun (اله), yang berarti Tuhan, dan dimakrifatkan menunjukkan kekhususan Tuhan yang kita sembah. Tetapi dalam kamus al Munawwir, kata ilāhun sendiri tidak bermakna Tuhan, melainkan memiliki arti kegemaran, kesenangan kepada sesuatu (Munawwir, 1984:37). Artinya ilāhun di sini adalah sebuah kecenderungan, kecenderungan terhadap apapun, maknanya sangat umum. Dari pemaknaan seperti ini, setidaknya ada korelasi yang bisa kita temukan, antara makna kecenderungan dengan penamaan Tuhan. Yaitu, Tuhan merupakan kecenderungan kita terhadap sesuatu, yang membuat kita gemar kepadanya, membuat kita menyembahnya, mengagungkannya, dan mengutamakannya. Lalu Apa yang kita cenderungi selama ini?
Dicky Zainal Arifin mengemukakan bahwa yang disebut Tuhan adalah “sesuatu yang kita sembah, sesuatu yang kita prioritaskan, sesuatu yang kita takuti, dan sesuatu yang mampu membuat kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.” Pengertian ini diambil dengan menisbatkan sifat-sifat yang kita seharusnya berlaku demikian terhadap Allah. apakah sikap-sikap di atas telah kita curahkan seluruhnya kepada Allah selama ini?
Di sini bisa kita perhatikan, terjadi bias makna tentang Tuhan yang kita pahami selama ini. Bila kita pahami bahwa Tuhan adalah sebuah kecenderungan terhadap sesuatu, maka bisa apa saja, sampai sesuatu itu kita sembah, kita takuti kehilangan, dan selalu kita prioritaskan, maka itulah Tuhan kita. Sadar atau tidak, kita seringkali menuhankan hal-hal lain selain Allah. Orang-orang kapitalis, yang menyembah uang, berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya, sampai mereka rela melakukan apa saja demi uang, telah bertuhankan uang. Para pengejar cinta yang semu, telah mengorbankan segala halnya demi wanita/pria yang mereka anggap mereka cintai, telah menuhankan hasratnya dan orang yang dia anggap “cinta”nya. Para penguasa yang saling makan di atas sana, menginginkan kekuasaan atas segala-galanya, telah menuhankan dirinya sendiri untuk menjadi penguasa. Yang mana Tuhan kita?
Bila kita refleksikan terhadap diri kita sendiri, kita perlu banyak berbenah, terutama membenahi syahadat kita, untuk meniada Tuhankan selain Allah, apa yang kita kejar dalam hidup, apa yang kita prioritaskan dalam hidup, kemana kecenderungan kita setiap kali melakukan pekerjaan. Kita harus mulai berpikir lebih baik dan lebih matang. Ketauhidan harus muncul dari sebuah kesadaran, bukan membeo terhadap doktrin yang menjadi dogma. Sungguh rugi jika kita mengatakan hal yang tidak kita pahami, jika kita tidak mau berpikir tentang apa yang kita ucapkan.
Bila kita memang seorang muslim, mulailah berpikir dan mencari siapa Tuhan kita, temukanlah bahwa Tuhan kita memang Allah, karena kepada-Nya kita akan kembali, apa kita tidak malu jika kita kembali dan ditanya tentang identitas Tuhan kita dan kita tidak tahu atau lebih parah lagi salah dalam menjawab pertanyaan itu? Mulailah untuk berpikir, setidaknya cobalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar